Rabu, 18 April 2012

Tentang Siwa Siddhanta

1. Definisi Siwa

Nama Siwa memiliki kekuatan untuk melenyapkan segala kegelapan batin. Jika kegelapan itu mendapat sinar dari Hyang Siwa, maka lahirlah kesadaran budhi yang sangat dibutuhkan setiap saat dalam hidup ini. Siwa sebagai salah satu aspek atau manifestasi Sang Hyang Widhi Wasa, kita melebur kegelapan yang menghalangi budhi dan menerima sinar suci Tuhan. Jika budhi selalu mendapat sinar suci Tuhan, maka budhi akan menguatkan pikiran atau manah sehingga dapat mengendalikan indria atau Tri Guna.

Kata Siwa berarti yang memberikan keberuntungan (kerahayuan), yang baik hati, ramah, suka memaafkan, menyenangkan, memberi banyak harapan, yang tenang, membahagiakan dan sejenisnya. (Monier,1990:1074). Siwa adalah Tuhan Yang Maha Esa sebagai pelebur kembali (aspek pralaya atau pralina dari alam semesta dan segala isinya). Siwa yang sangat ditakuti disebut Rudra (yang suaranya menggelegar dan menakutkan). Siwa yang belum dipengaruhi Maya (berbagai sifat seperti Guna, Sakti dan Swabhawa) disebut Parama Siwa, dalam keadaan ini, disebut juga Acintyarupa atau Niskala dan tidak berwujud. Istilah Siwa berasal dari bahasa Sanskerta yang dalam ajektivenya berarti mulia, dan dalam bentuk noun masculinenya bermakna dewa atau Tuhan (Sumawa, 1990:301)

Dalam Bhagavadgita III, 42, dinyatakan, orang akan memiliki alam pikiran jernih, apabila atman atau jiwa yang suci itu selalu menyinari budhi atau alam kesadaran. Budhi (kesadaran) itu menguasai manah (pikiran). Manah menguasai indria. Kondisi alam pikiran yang struktural dan ideal seperti itu amat sulit didapat. Ia harus selalu diupayakan dengan membangkitkan kepercayaan pada Tuhan sebagai pembasmi kegelapan jiwa. Siwa Ratri (Ratri juga sering ditulis Latri) adalah malam untuk memusatkan pikiran pada Sanghyang Siwa guna mendapatkan kesadaran agar terhindar dari pikiran yang gelap. Karena itu, Siwa Ratri lebih tepat jika disebut ”malam kesadaran” atau ”malam pejagraan”, bukan ”malam penebusan dosa” sebagaimana sering diartikan oleh orang yang masih belum mendalami agama.

Siwa adalah salah satu dari tiga dewa utama (Trimurti) dalam agama Hindu. Kedua dewa lainnya adalah Brahma dan Wisnu. Dalam ajaran agama Hindu, Dewa Siwa adalah dewa pelebur, bertugas melebur segala sesuatu yang sudah usang dan tidak layak berada di dunia fana lagi sehingga harus dikembalikan kepada asalnya. Dewa Siwa memiliki nama lain yaitu, Jagatpati, Nilakantha, Paramêśwara, Rudra, Trinetra. Bersenjatakan Tri sula, dengan Wahana Lembu Nandini. Beliau memiliki sakti diantaranya Dewi Parwati, Dewi Uma,Dewi Durga, Dewi Kali.

Dewa Siwa adalah dewata bagian dari Trimurti, yang bertanggung jawab terhadap penyerapan alam semesta. Beliau merupakan perwujudan dari sifat tamas, kelembaman sentrifugal. Kecenderungan menuju pelenyapan atau peleburan. Arti sebenarnya dari siwa adalah pada siapa alam semesta ini tertidur setelah pemusnahan dan sebelum siklus penciptaan berikutnya. Semua yang lahir harus mati. Segala yang dihasilkan harus dipisahkan dan dilenyapkan. Ini merupakan hukum yang tidak dapat dilanggar, prinsip yang menyebabkan keterpisahan ini, daya dibalik penghancuran ini adalah Siwa. Siwa jauh lebih banyak  dari pada itu, keterpisahan alam semesta berakhir pada pengurangan tertinggi, menjadi kekosongan tanpa batas, substratum dari segala keberadaan, dari mana berulang-ulang muncul alam semesta yang nampak tanpa batas ini.

Umat Hindu, khususnya umat Hindu di India, meyakini bahwa Dewa Siwa memiliki ciri-ciri yang sesuai dengan karakternya, yakni: Bertangan empat, masing-masing membawa: trisula, cemara, tasbih/genitri, kendi. Bermata tiga (tri netra), Pada hiasan kepalanya terdapat ardha chandra (bulan sabit), Ikat pinggang dari kulit harimau, Hiasan di leher dari ular kobra. Oleh umat Hindu Bali, Dewa Siwa dipuja di Pura Dalem, sebagai dewa yang mengembalikan manusia ke unsurnya, menjadi Panca Maha Bhuta. Dalam pengider Dewata Nawa Sangga (Nawa Dewata), Dewa Siwa menempati arah tengah dengan warna panca warna. Ia bersenjata padma dan mengendarai lembu Nandini. Aksara sucinya I dan Ya. Beliau dipuja di Pura Besakih. Dalam tradisi Indonesia lainnya, kadangkala Dewa Siwa disebut dengan nama Batara Guru.

Tiga Lingga itu sebagai simbol sakral sebagai sarana pemujaan Tuhan dalam manifestasinya sebagai Sang Hyang Tri Purusa. Tuhan dipuja sebagai Sang Hyang Tri Purusa itu dalam fungsinya sebagai jiwa agung alam semesta. Siwa sebagai jiwa Bhur Loka. Sada Siwa sebagai jiwa agung Bhuwah Loka dan Parama Siwa sebagai jiwa Swah Loka. Tujuan pemujaan Tuhan sebagai Siwa jiwa agung Bhur Loka adalah untuk mencapai suka tanpa wali duhkha. Sebagai Sada Siwa untuk mencapai kebahagiaan yang tiada berpangkal dan tiada berujung. Sebagai Parama Siwa untuk mencapai kebahagiaan yang bersifat niskala yang tidak dapat dibayangkan dalam wujud nyata dan tidak mungkin diberikan ciri-cirinya. Demikian dinyatakan dalam pustaka suci Wrehaspati Tattwa.

Salah satu yang menarik dari keberadaan Dewa Siwa, ialah Beliau berada di mana-mana, di seluruh penjuru mata angin dan di pengider-ider. Di timur Ia adalah Iswara, di tenggara Ia adalah Mahesora, di selatan Ia adalah Brahma, di barat daya Ia adalah Rudra, di barat Ia adalah Mahadewa, di barat laut Ia adalah Sangkara, di utara Ia adalah Wisnu, di timur laut Ia adalah Sambhu dan ditengah Ia adalah Siwa. Sebagai Sang Hyang kala, di timur Ia adalah kala Petak (putih), di selatan Ia adalah Kala Bang (merah), di barat ia adalah Kala Gading (Kuning), di utara Ia adalah Kala Ireng (hitam) dan ditengah Ia adalah kala mancawarna.

Realita tertinggi disebut Siwa, yang merupakan kesadaran tak terbatas, yang abadi, tanpa perubahan, tanpa wujud, merdeka, ada dimana-mana, maha kuasa, esa tiada duanya, tanpa awal, tanpa penyebab, tanpa noda, ada dengan sendirinya, selalu bebas, selalu murni dan sempurna. Ia tak dibatasi oleh waktu yang merupakan kebahagiaan dan kecerdasan yang tak terbatas, bebas dari cacat, maha pelaku dan maha mengetahui.

Dewa Siwa adalah Tuhan cinta kasih, yang karunianya tak terbatas, cinta kasihnya tak terbatas dan merupakan penyelamat dan guru. Ia selalu terlibat dalam pembebasan roh-roh dari perbudakan materi. Ia mengenakan wujud seorang guru yang berasal dari cinta kasihnya yang mendalam terhadap umat manusia. Ia menghendaki agar semuanya menghendaki tentang Dia dan mencapa Siwa-pada yang penuh kebahagiaan. Ia menjaga aktifitas dari roh-roh pribadi dan membantunya dalam pergerakan majunya. Ia membebaskan roh-roh pribadi dari blenggu atau ikatan.

Dewa Siwa meresapi seluruh alam dengan Sakti-Nya dan berkarya melalui Sakti-Nya. Sakti merupakan energi dasar dari Dewa Siwa, yang benar-benar merupakan badan dari Dewa Siwa. Diibaratkan seperti tukang periuk adalah penyebab utama dari periuk ; tongkta dan roda adalah penyebab instrumental sedangkan tanah liat adalah penyebab material dari periuk. Demikian pula Dewa Siwa merupakan penyebab pertama dari alam semesta, dan saat itu merupakan penyebab instrumental dan maya merupakan penyebab material.

Siwa memiliki dua aspek, yaitu satu aspek Ia adalah yang tertinggi, tanpa perubahan dan sat-cid-ananda, yang merupakan para Samwit. Niskala Siwa adalah Nirguna Siwa, yang tak terhubung dengan sakti kreatif. Pada aspek lainnya, ia berubah sebagai alam semesta. Penyebab perubahan ini adalah Siwa-Tattwa. Sakti Tattwa adalah aspek dinamis pertama dari Brahman. Siwa-Tattwa dan Sakti-Tattwa ini tidak dapat dipisahkan.

Siwa memiliki delapan sifat menurut pandangan Siwa Sidhanta, yaitu : independen, murni, berpengetahuan sendiri, bebas dari mala, murah hati berlimpah, maha ada, dan kebahagian. Menurut Siwa Sidhanta, Tuhan adalah penyebab operatif alam semesta dan saktinya adalah penyebab instrumentalnya, maya adalah penyebab materialnya. Dari maya dunia ini berevolusi, dan jiwa-jiwa disediakan lokasi-lokasi instrumen dan objek pengetahuan.

Siwa  memiliki lima fungsi yaitu : (1) Tirodhana (pengaburan), (2) Srsti (penciptaan), (3) Sthiti (pemeliharan), (4) Samhara (penghancuran), dan (5) anugraha (pemberi anugrah). Siwa menyembunyikan kebenaran dari jiwa-jiwa dan memproyeksikan dunia ini dalam rangka menyelamatkan jiwa melalui anugrah-Nya.

Sesungguhnya kesadaran Paramasiwa, Sadasiwa dan Siwa sesungguhnya satu dan disebut Kenyataan/Hakikat Siwa. Siwa dibedakan menjadi tiga tingkatan adalah untuk memperlihatkan ada tidaknya dan besar kecilnya pengaruh maya. Siwa kehilangan kesaktian, kesucian dan wisesanya karena pangaruh maya maka kesadaran/ hakikat Siwa disebut atma yaitu jiwa yang ada pada setiap manusia. Atma artinya kesadaran yang terpesona. Kata maya berarti khayal, ketidaknyataan.

 Hakikat Paramasiwa dapat dijelaskan bahwa Tuhan tidak terpikirkan, murni, abadi, tak terbatas, memenuhi segalanya, jiwa segala jiwa. Beliau tidak memiliki sifat, kosong/sunya. Ia adalah kesadaran tertinggi yang bersifat transenden. Tuhan dalam wujud Paramasiwa tidak bisa dipikirkan sehingga disebut Nirguna Brahman.

Sadasiwatattwa adalah Paramasiwatattwa yang telah terkena pengaruh maya sehingga Ia memiliki guna, sakti dan swabhawa. Guna adalah hukum kemahakuasaan-Nya sendiri. Karena itu Sadasiwa masih berkuasa atas guna-guna-Nya. Dalam keadaan seperti ini Ia disebut Siwa-swayaparah, Paramasiwa yang telah menyatu dengan saktinya, sehingga Beliau dapat mencipta (Utpati), memelihara (Sthiti), dan melebur (Pralina) alam semesta beserta isinya.

Sadasiwa adalah hakikat-Nya kesadaran aktif. Kesadaran aktif-Nya adalah sarwajnana dan sarwakaryakarta. Sadasiwa adalah Bhatara Siwa yang beratribut karena laksananya Saguna. Artinya, Ia yang bersifat serba maha : tahu, sempurna, kuasa, dan karya. Dengan atribut-Nya inilah eksistensi Tuhan diketahui. Tuhan dalam wujud Sadasiwa dalam menjalankan kemahakuasaannya dibantu tiga hal, yaitu: Guna, Sakti, Swabhawa.

Hakikat memuja Tuhan Siwa untuk mencapai kebahagiaan yang tidak berbalik pada kedukaan. Memuja Tuhan sebagai Sadasiwa akan mencapai kebahagiaan yang tidak ada awal dan tidak akhirnya. Memuja Tuhan sebagai Paramasiwa mencapai kebahagiaan niskala yang tidak dapat dilukiskan kebahagiaan itu.

Tuhan dalam wujud Sada Siwa memiliki Sakti yang dsebut dengan  Cadu Sakti, yaitu empat kekuatan dan keistimewaan Tuhan Sada Siwa secara lahir bathin. Adapun yang dimaksud Cadu Sakti, yaitu:

  1. Wibhusakti disebut juga dengan uta-prota, yaitu ada dalam segalanya tetapi keadaannya tidak terpengaruh oleh apa-apa dan tetap suci murni selaanya.
  2. Prabhusakti yaitu menguasai segalanya sehingga semua di bawah kendalinya.
  3. Jnanasakti yaitu sumber pengetahuan yang abadi sehingga beliau tetap maha tau.
  4. Kriyasakti yaitu dapat mengerjakan segala kerja dengan sempurna.

Tuhan dalam wujud Sada Siwa memiliki Swabhawa yang bernama Astaiswarya yang artinya delapan kemahakuasaan dan keistimewaan Tuhan. Adapun yag dimaksud yaitu:

  1. Anima : Atom (kecil) sehingga Tuhan dpt meresapi segala benda dan tempat.
  2. Laghima :ringan sehingga mudah melayang di angkasa.
  3. Mahima : maha besar & agung sehingga menjadi dihormati.
  4. Prapthi :serba sukses sehingga kehendaknya dapat tercapai bebas dari hukum karma.
  5. Prakamya : dapat terwujud segala keinginannya.

6.      Isitwa : Maha pengatur (Rta).

7.       Wasitwa : Mahakuasa.

8.      Yatrakamawasayitwa : apa saja yang dikehendaki dan dimanapun maka seketika itu sukses.



Menurut Saiva Siddhanta, Siva adalah kenyataan tertinggi dan yang terakhir, mahatahu, tidak dijilid dan hadir dimana mana. Ia adalah Pati, terpenting menjadi dan dewata yang tertinggi itu. Siva sendiri adalah yang efisien penyebab semua ciptaan, evolusi, pemeliharaan, perahasiaan dan pemutusan. Ia membawa maju dunia dan mahluk mereka melalui/sampai kuasa/ tenaga dinamis nya, Shakti.

Jivas adalah mahluk atau jiwa-jiwa yang individu. Mereka tidaklah sama halnya Siva. Tetapi mereka dibuat dari inti sari yang sama itu. Menurut Saiva Siddhanta, Siva adalah sama seperti jiwa-jiwa tetapi juga selain dari jiwa-jiwa itu. Banyaknya jiwa-jiwa tinggal tetap dalam keseluruhannya. Jumlah mereka tidak bisa ditingkatkan maupun dikurangi. Mereka boleh mengalami perubahan bentuk tetapi jumlah mereka tetap. Dengan begitu di (dalam) Saiva Siddhanta ada suatu pembedaan bagus antara jiwa-jiwa dan Tuhan. Perbedaan bukanlah di (dalam) inti sari mereka tetapi di (dalam) konstitusi mereka. Hubungan mereka dengan Siva bukanlah suatu status keesaan hanyalah kesamaan. Sebab Siva dan jivas adalah berbeda tetapi juga yang sama pada pokoknya, sekolah ini diperlakukan sebagai dualistic atau keadaan jamak.

Kalau diamati ternyatalah bahwa agama Hindu di Indonesia adalah agama Hindu yang memuja Bhatara Siwa sebagai Tuhan yang tertinggi. Sanghyang Widhi Wasa adalah sebutan Tuhan yang amat umum. Bhatara Siwa adalah Sanghyang Widhi sendiri. Bhatara Siwa dipuja oleh umat Hindu Indonesia. Ia dipuja sebagai Trimurti yaitu : Brahma, Wisnu dan Iswara, sebagai Panca Brahma yaitu: Sadya/Sadyajata, Bamadewa, Tatpurusa, Aghora dan Isana sebagai Dewata Nawa Sangha yaitu ; Mahesvara, Brahma, Rudra, Mahadewa, Sangkara, Wisnu, Sambhu dan Siwa.

Gong Besi termasuk kelompok naskah yang memuat ajaran yang Siwaistik. Di dalam naskah ini, disebutkan bahwa Bhatara Dalem patut dipuja dengan sepenuh hati, penuh rasa tulus iklas. Dalam setiap pemujaannya, Ida Bhatara Dalem dapat dihadirkan (utpeti puja), distanakan (stiti puja) dan dikembalikan (pralina puja). Persembahan bhakti yang utama kehadapan Ida Bhatara Dalem menyebabkan orang mendapatkan kemuliaan lahir dan batin, dan pada akhirnya akan mencapai surga loka atau siwa loka. Ida Bhatara Dalem adalah Bhatara Guru atau Dewa Siwa itu sendiri sebagai sebutan Ida Sanghayng Widhi dengan segala manifestasi beliau.

Bhatara Dalem ketika berstana disawah sebagai pengayom para petani dan semua yang ada disawah, maka beliau dipuja dengan sebutan sebagai Dewi Uma. Di jineng atau lumbung padi beliau dipuja dengan sebutan Betari Sri. Kemudian didalam bejana atau tempat beras (pulu), Ida Bhatara Dalem dipuja dengan Sanghyang Pawitra Saraswati. Didalam periuk tempat nasi atau makanan, maka beliau disebut Sanghyang Tri Merta. Kemudian di Sanggar Kemimitan (Kemulan) yaitu tempat suci keluarga, Ida Bhatara Dalem dipuja sebagai Sanghyang Aku Catur Bhoga. Aku berwujud laki, perempuan, dan banci. Menjadilah aku manusia seorang, bernama Aku Sanghyang Tuduh atau Sanghyang Tunggal, di Sanggar perhyangan stana beliau. Disebut pula beliau dengan Sanghyang Atma. Pada Kemulan Kanan adalah ayah yakni Sang Pratma (Paratma). Pada Kemulan Kiri adalah Ibu, Sang Siwatma. Pada Kemulan Tengah adalah dirinya atau raganya yakni roh suci yang menjadi ibu dan ayah, nantinya kembali pulang ke Dalem menjadi Sanghyang Tunggal. Ida Bahtara Dalem adalah Sanghyang Paramawisesa, karena semua rasa baik, rasa sakit, rasa sehat, rasa lapar dan sebagainya adalah beliau sumbernya. Beliau adalah asal dari kehidupan, beliau memelihara alam semesta ini, dan beliau adalah penguasa kematian, dalam air, cahaya, udara dan akasa, tidak ada yang dapat melebihi beliau. Sehingga beliau disebut dengan Sanghyang Pamutering Jagat.

Arti Kata Surga Loka atau Siwa Loka : Surga Loka artinya kebahagiaan lahir batin pada tempat yang langgeng atau abadi, Siwa Loka artinya Istana atau Stana Dewa Siwa sebagai manifestasi dari Tuhan, Surga Loka atau Siwa Loka artinya mendapat kebahagiaan lahir batin pada tempat yang langgeng atau abadi disisi Tuhan. Dalam hubungannya dengan sembah bhakti (pemujaan) kehadapan beliau, sebaiknya diketahui nama atau julukan beliau. Karena kemahakuasaan beliau sebagai pencipta, pemelihara dan pelebur, beliau disebut dengan banyak nama, sesuai dengan fungsi dan tempat beliau berstana. Ketika beliau yaitu Ida Bhatara Dalem berstana di Pura Puseh, maka Sanghyang Triyodasa Sakti nama beliau. Ketika berstana di Pura Desa, maka Sanghyang Tri Upasedhana sebutan beliau. Di Pura Bale Agung, beliau dipuja sebagai Sanghyang Bhagawati. Di perempatan jalan raya beliau dipuja sebagai Sanghyang Catur Bhuwana. Ketika beliau berstana di pertigaan jalan raya disebut dengan Sanghyang Sapu Jagat.

Siwa adalah prakash, terang luminositas dan Jnan, Mahatahu, semuanya diketahui-Nya. Prakash also underlines Shiva's transcendence and equipoise in the state of transcendence.Prakash juga menggarisbawahi transendensi Siwa dan imbang di negara bagian transendensi. Siwa sebagai melawan Vedanic Sat, Cit, Anand hanya Cit dan Anand. Hal ini Swarup Kutasth Nya. Luminositas Nya Prakashrupta dan Anand adalah memancar keluar Nya (Uchhalan) untuk bertindak keluar Vilas (olahraga) penciptaan. Siwa tidak memiliki noda-noda keterbatasan dan suksesi. Dia berada di luar Vikaras (cacat). Dia adalah yang pertama dan penyebab terakhir dari manifestasi. Prior to His emergence of will to manifest what is inside Him to Himself, the universe with all its diversities lies in Him in a state of submergence. Sebelum munculnya kehendak-Nya untuk mewujudkan apa yang di dalam-Nya untuk diri-Nya, alam semesta dengan segala keanekaragaman terletak dalam Dia dalam keadaan perendaman. In his monumental work Tantralok , Abhinavgupta conveys the same position of Shiva which is commented upon as—

Shiva tidak hanya Prakash tapi Vimarsa juga. Vimarsa as per Dr. Jaidev Singh is the sciring of Shiva's own consciousness. Vimarsa sesuai Jaidev Dr Singh adalah sciring kesadaran sendiri Siwa. Vimarsa is Shakti, the nature of Shiva.Vimarsa adalah Shakti, sifat Siwa.It denotes Shiva's power to act. Ini menunjukkan kekuatan Siwa untuk bertindak. As per Shaiva texts diamond is prakash, but it is absolutely deficient in knowing itself as prakash. Sesuai teks Siwa berlian adalah prakash, tetapi sangatlah kekurangan dalam mengetahui dirinya sebagai prakash. But Shiva knows Himself as prakash.Tapi Shiva tahu diri-Nya sebagai prakash. Various names have been given to Vimarsa. Berbagai nama telah diberikan kepada Vimarsa. It is Kartritva, Swatantrya, and Parashakti.Hal ini Kartritva, Swatantrya, dan Parashakti. Had Shiva been prakash only the universe would not have appeared. Apakah Siwa telah prakash hanya alam semesta tidak akan muncul. It is because of Vimarsa that Shiva manifests the universe on the screen of His own consciousness. Hal ini karena Vimarsa yang memanifestasikan Siwa alam semesta pada layar kesadaran-Nya sendiri. All that we find in the universe is an abhasa and each abhasa is self-expression of Shiva. Semua yang kita temukan di alam semesta adalah abhasa dan setiap abhasa adalah ekspresi diri dari Siwa. What we find outside in the universe is inside Shiva only— yadantastad sahir . Apa yang kita temukan di luar di alam semesta ada di dalam Siwa hanya-yadantastad Sahir.

Siwa adalah agen kreatif. He can be likened to a painter who delineates the universe on the canvas of His own consciousness. Dia dapat disamakan dengan pelukis yang melukiskan alam semesta di kanvas kesadaran-Nya sendiri. When He creates, He is the Shakti.Ketika Dia menciptakan, Dia adalah Shakti itu. He and His divine consciousness pervade the universe, whether animate or inanimate.Dia dan kesadaran ilahi-Nya meliputi alam semesta, baik hidup maupun mati. From man to everything living to dead objects have immanence of Shiva.Dari manusia untuk segala sesuatu yang hidup untuk benda mati memiliki imanensi Siwa. Siwa hadir dalam hidup segala sesuatu atau tidak hidup. As an ultimate destiny everything finds its resting place in Shiva's consciousness supreme.Sebagai tujuan akhir segalanya menemukan tempat peristirahatannya di Siwa kesadaran tertinggi.

Shiva adalah transcendetal, di luar batas-batas ruang dan waktu, tetapi Dia sama imanen, yang hadir dalam segala sesuatu yang tak henti-hentinya menciptakan pada layar kesadaran-Nya sendiri. His is not the case of a semitic God who creates the world and withdraws from it for fear of losing His unity. Nya tidak kasus Tuhan Semit yang menciptakan dunia dan menarik diri dari itu karena takut kehilangan kesatuan-Nya.Shiva creates all the world of animates and equally creates the world of inanimates. Shiva menciptakan semua dunia menjiwai dan sama-sama menciptakan dunia inanimates.A dead stone also has the spark of His creative consciousness, but the spark is slightly weak. Sebuah batu mati juga memiliki percikan kesadaran kreatif-Nya, tetapi percikan sedikit lemah. Whatever appears in the world is within the ambit of His all-pervasive consciousness. Apa pun muncul di dunia adalah dalam ambit dari semua meresap kesadaran-Nya.







Tugas II

2. Mencari Siwa Siddhanta dalam panca yajnya, kristalisasi sekta-sekta yang ada di Bali menjadi Siwa Siddhanta dalam bentuk Panca Yajnya buktikan kebenarannya!

1)      Sekta-sekta yang ada di Bali

Pada waktu pemerintahan raja Marakata di Bali datanglah Mpu Kuturan dari Jawa Timur, beliaulah yang mengajarkan membuat Parhyangan atau Kahyangan dana membawa cara tempat pemujaan seperti yang ada di Jawa Timur. Hal ini disebutkan dalam lontar Usana Dewa. Pada awal kedatangannya di Bali, Mpu Kuturan melihat suatu kenyataan bahwa agama Hindu yang ada pada masa itu terdiri dari sembilan sekta, yaitu Siwa Siddhanta, pasupata, Bhairawa, Waisnawa, Bodha (sagata), Brahmana, Resi, Sora (Surya) dan Ganapatya.

Adapun ciri-ciri umum dari kesembilan sekta yang ada dalam agama Hindu itu adalah sebagai berikut : ciri-ciri umum tentang adanya sekta Siwa Siddhanta di Bali, adalah adanya karya sastra pustaka keagamaan seperti : Bhuanakosa, Wrhaspati Tattwa, Sanghyang Mahajnana, Catur Yuga dan Widgisastra yang semua ini mengambil ajaran dari Siwa Siddhanta. Demikianpula dengan Mudra dan Kuta Mantra yang dipergunakan oleh para peendeta Siwa di Bali dalam melaksanakan pujaparikrama adalah bersumber pada ajaran Siwa Siddhanta. Selain itu adanya fragmen prasasti pejeng yang berbunyi ....Siwas...dha....yang diduga berbunyi Siwa Siddhanta. Semua data-data ini membuktikan telah berkembangnya ajaran Siwasiddhanta di Bali.

Mengenai bukti pernah berkembangnya sekta Pasupata di Bali, adalah dengan adanya pemujaan Lingga di beberapa pura yang tergolong kuna. Jumlah lingganya cukup banyak, ada yang dibuat berlandaskan konsepsi yang sempurna dan ada pula yang dibuat deengan sangat sederhana, sehingga merupakan Lingga semua. Pemujaan Lingga sebagai lambang Dewa Siwa adalah merupakan ciri-ciri khas sekta Pasupata.

Demikianpula dengan sekta Bhairawa juga pernah berkembang di Bali. Adapun bukti perkembangannya adalah adanya pemujaan Siwa dalam wujudnya yang sangat hebat dan mengerikan  yang disebut dengan nama Dhurga. Sekta Bhairawa sering pula disebut dengan nama Tantrisme kiri Wamaskta. Istilah lain yang sering dipergunakan untuk menyebutkan Tantrisme kiri adalah Prawrti marga sebutan untuk membedakan dengan Tantrisme kanan yang disebut Niwerti marga. Pemujaan Durgha di Bali juga dapat dilihat pada mantra Durgastawa, yang juga digunakan oleh para pendeta di Bali. Sekte Bhairawa adalah sekte yang memuja Dewi Durga sebagai Dewa Utama. Pemujaan terhadap Dewi Durga di Pura Dalem yang ada di tiap desa pakaman di Bali merupakan pengaruh dari sekte ini. Begitu pula pemujaan terhadap Ratu Ayu (Rangda) juga merupakan pengaruh dari sekte Bhairawa. Sekte ini menjadi satu sekte wacamara (sekte aliran kiri) yang mendambakan kekuatan (magic) yang bermanfaat untuk kekuasaan duniawi. Ajaran Sadcakra, yaitu enam lingkungan dalam badan dan ajaran mengenai Kundalini yang hidup dalam tubuh manusia juga bersumber dari sekte ini.

Adanya sekte Waisnawa di Bali dengan jelas diberikan petunjuk dalam konsepsi agama Hindu mengenai pemujaan terhadap Dewi Sri. Pemujaan terhadap Dewi Sri demikian besarnya di Bali, karena Dewi ini dipandang sebagai Dewi pemberi rejeki, pemberi kesejahteraan, kemakmuran, dan pemberi kebahagiaan. Dikalangan para petani di Bali, Dewi Sri dipandang sebagai dewanya pada yang merupakan keperluan hidup yang utama. Demikian pula adanya cerita-cerita mengenai Awatara Wisnu ke dunia untuk menyelamatkan dunia dari kehancuran akibat dominasi adharma, sangat populer di Bali. Semua data-data ini membuktikan ada dan berkembangnya sekte Waisnawa di Bali.

Demikian pula adanya sekta Bodha atau Sogatha di Bali dibuktikan dengan adanya penemuan mantra Buddha tipe Ye te mantra dalam materai yang terbuat dari tanah liat dan tersimpan dalamstupika. Stupika seperti ini banyak di dapati di daerah Pejeng, kabupaten Gianyar. Menurut peneliti para ahli purbakala, mantra Buddha Mahayana diperkirakan sudah ada di Bali pada abad ke 9 masehi. Adanya arca Boddhisatwa di pura Genurua Bedahulu, arca Buddha di Gua Gajah, arca Boddhisatwa Padmapatni di pura Galang Sanja Pejeng dan di tempat lainnya lagi, sudah cukup memberikan bukti adanya sekta Buddha di Bali pada jaman yang silam. Disamping itu dalam beberapa prasasti Bali Kuna, banyak dijumpai keterangan tentang adanya Bhisu atau pendeta Buddha di Bali yang memakai gelar Dang Upadhyaya.

Adanya sekta Brahmana yang menurut penelitian para ahli purbakala seluruhnya telah luluh dengan sekta Siwa Siddhanta. Di India sekta Brahmana disebut dengan nama Smarta, tetapi sebutan ini tidak dikenal di Bali. Adanya kitab-kitab Sasana Adigama, Purwadigama, Kutara, Manawa yang bersumberkan Manawadharmasastra merupakan produk dari sekta Brahmana.

Mengenai sekta Rsi, disebutkan kelompok ini senang melaksanakan pertapaan di tempat-tempat yang dipandang suci seperti di gunung-gunung, di goa-goa dan sebagainya. Terhadap sekta ini DR. R. Goris memberi suatu uraian dengan menunjukkan suatu kenyataan bahwa di Bali Rsi adalah seorang Dwijati yang bukan berasal dari wamsa Brahmana. Beliau menghubungkan istilah Rsi di Bali untuk seorang Dwijati dari wamsa Ksatria, dengan sebutan Dewarsi atau Rajarsi.

Keberadaan sekta Sora di Bali dibuktikan dengan adanya pemujaan terhadap Dewa Surya sebagai dewa yang utama. Sistem pemujaan Dewa Matahari yang disebut Suryasewana dilakukan pada waktu matahari terbit dan matahari terbenam adalah ciri penganut sekta Sora. Selain itu yang lebih jelas lagi adalah setiap upacara agama di Bali selalu dilakukan pemujaan terhadap dewa Surya sebagai dewa yang memberikan suatu perasaksian bahwa seseorang telah melakukan yadnya.

Sekta Ganapatya adalah kelompok pemuja Dewa Ganesa , yang keberadaannya terbukti dengan banyaknya didapatkan arca Ganesa, baik dalam wujud besar maupun kecil. Arca Ganesa itu ada yang terbuat dari batu padas dan ada pula yang terbuat dari logam yang tersimpan di Bali. Fungsi arca Ganesa adalah sebagai Wignagna yaitu penghalang segala gangguan. Sehubungan dengan itu pada umumnya arca Ganesa diletakkan pada tempat-tempat yang dianggap berbahaya. Setelah zaman Gelgel, banyak patung ganesha dipindahkan dari tempatnya yang terpencil ke dalam salah satu tempat pemujaan. Akibatnya, patung Ganesa itu tak lagi mendapat pemujaan secara khusus, melainkan dianggap sama dengan patung-patung dewa lain.

Kesemua jenis sekta ini merupakan unsur yang membangun siwa siddhanta. Hal ini dapat dilihat dari jenis upakara yang dipergunakan upacara yang dilakukan yang merangkul semua jenis sekta itu, contohnya ajaran sekta bhairawa terlihat dalam sarana yang digunakan yang berupa arak berem,tabuh rah. Kemudian pemakaian dupa yang merupakan ajaran dari sekta brahma.

2)      Penerapan Siwa Siddhanta

Ajaran Agama Hindu yang dianut sebagai warisan nenek moyang di Bali adalah ajaran Siwa Siddhanta yang kadang - kadang juga disebut Sridanta.
Siddhanta artinya akhir dari sesuatu yang telah dicapai, yang maksudnya adalah sebuah kesimpulan dari ajaran yang sudah mapan. Ajaran ini merupakan hasil dari akulturasi dari banyak ajaran Agama Hindu. Didalamnya kita temukan ajaran Weda, Upanisad, Dharmasastra, Darsana (terutama Samkya Yoga), Purana dan Tantra. Ajaran dari sumber - sumber tersebut berpadu dalam ajaran Tattwa yang menjadi jiwa atau intisari Agama Hindu di Bali.

Dalam realisasinya, tata pelaksanaan kehidupan umat beragama di Bali juga menampakkan perpaduan dari unsur - unsur kepercayaan nenek moyang. Wariga, Rerainan (hari raya) dan Upakara sebagian besarnya merupakan warisan nenek moyang. Warisan ini telah demikian berpadu serasi dengan ajaran Agama Hindu sehingga merupakan sebuah satu kesatuan yang bulat dan utuh. Dengan demikian, Agama Hindu di Bali mempunyai sifat yang khas sesuai dengan kebutuhan rohani orang Bali dari jaman dahulu hingga sekarang. Di masa sekarang ini, warisan Agama yang adhiluhung tersebut perlu kita jaga, rawat dan menyempurnakan pemahaman kita sehingga tetap bisa memenuhi kebutuhan jiwa keagamaan umatnya.

Tempat - tempat pemujaan menunjukkan tempat memuja Bhatara Siwa dalam manifestasi beliau. Belia dipuja sebagai Siwa Raditya di Padmasana, dipuja sebagai Tri Murti di sanggah, paibon, Kahyanga Desa dan kahyangan jagat. Pemujaan Tuhan pada berbagai tempat sebagai Ista Dewata sesuai dengan ajaran Tuhan berada dimana - mana. Demikinalah orang Bali menyembah Tuhan disemua tempat, di Pura Dalem, Pura Desa, Pura Puseh, Bale Agung, Pempatan Agung, Peteula, Setra, Segara, Gunung, Sawah, Dapur dan sebagainya.

Pada abad ke-8 Danghyang Markandeya mendapat wahyu di Gunung di Hyang (sekarang Dieng, Jawa Timur) bahwa bangunan palinggih di Tolangkir (sekarang Besakih) harus ditanami panca datu yang terdiri dari unsur –unsur emas, perak, tembaga, besi, dan permata mirah. Setelah menetap di Taro, Tegal lalang-Gianyar, beliau memantapkan ajaran Siwa Siddhanta kepada para pengikutnya dalam bentuk ritual: Surya Sewana, Bebali (banten), dan pecaruan. Dari konsepsi ajaran  Danghyang Markandeya dapat disamakan dengan ajaran sekta-sekta lain yang ada di Bali. Seperti sekta Sora yang mengutamakan pemujaan terhadap Dewa Surya dalam bentuk pemujaan Surya sewana, sama halnya yang dilakukan oleh Sekta Siwa Siddhanta. Ini dapat dikatakan adanya kesamaan bentuk pemujaan antara sekta Siwa Siddhanta dengan sekta Sora.

Siwa Siddhanta dalam pelaksanaannya di Bali terdapat relasi antara manusia dengan Tuhan. Relasi ini diwujudkan dalam bentuk bakti sebagai wujud Prawrtti Marga. Tuhan dipuja sebagai saksi agung akan semua perbuatan manusia di dunia. Tuhan yang memberikan berkah dan hukuman kepada semua mahluk. Di Bali, bhakti kepada Tuhan direalisasikan dalam berbagai bentuk. Untuk orang kebanyakan, bhakti diwujudkan dengan sembahyang yang diiringi dengan upakara. Upakara artinya pelayanan dengan ramah diwujudkan dengan banten. Upakara termasuk Yajna atau persembahan suci. Baik sembahyang maupun persembahan Yajna memerlukan tempat pemujaan. Pemangku, Balian Sonteng dan Sulinggih mengantarkan persembahan umat kepada Tuhan dengan saa, mantra dan puja. Padewasan dan rerainan memengang peranan penting, yang mana pada semua ini ajaran sradha kepada Tuhan akan selalu tampak terwujud. Demikian juga misalnya saat Bhatara Siwa sebagai Dewata Nawa Sanga diwujudkan dalam banten caru, belia disimbulkan pada banten Bagia Pula Kerti, beliau dipuja pada puja Asta Mahabhaya, Nawa Ratna dan pada kidung belia dipuja pada kidung Aji Kembang. Bhatara Siwa sebagai Panca Dewata dipuja dalam berbagai Puja, Mantra dan saa, ditulis dalam aksara pada rerajahan dan juga disimbulkan pada alat upacara serta aspek kehidupan beragama lainnya.

Praktek – praktek ritual dari Saiwa Siddhanta dengan warna Tantrik dapat kita lihat dari ritual para Pendeta di Bali seperti dalam pelaksanaan Suryasevana dengan patangan atau mudra serta mantra – mantra ( Stuti dan Stava ) dengan kuta mantra-Nya dan lain – lain. Waisnawa Sampradaya memiliki peninggalan dalam tradisi adalah pemujaan kepada Dewi Sri sebagai Dewi kemakmuran. Sri adalah sakti dari Dewa Wisnu sedang Wisnu diyakini sebagai pemelihara alam semesta yang dikaitkan pula dengan pura puseh ( dipuja melalui pura puseh ) , Pura Ulun sui/ bedugul dimaksudkan pula untuk memuja Tuhan Yang Maha Esa dalam manifestasi utamanya sebagai Shang Hyang Wisnu.

3)      Pelaksanaan Siwa Siddhanta dalam Panca Yajna

Penerapan Siwa Siddhanta di Bali lebih banyak yang nampak melalui pelaksanaan upacara agama Hindu yang dikelompokkan dalam lima bagian besar yang dinamain pancaa yajna, yakni : pertama, Dewa Yajna yakni persembahan kepada Tuhan Yang Maha Esa beserta dengan semua manifestasi-Nya, dengan pelaksanaan upacar agama berupa piodalan di Pura, persembahyangan, perayaan hari suci agama Hindu seperti : Saraswati, Pagerwesi, Galungan, Kuningan, Siwaratri, Nyepi, Purnama, Tilem, dan sebagainya. Kedua, Manusa Yajna yakni persemban kepada manusia yang dimulai sejak dalam kandungan sampai menjelang meninggal dengan berbagai jenis upacaranya yang bertujuan untuk melakukan penghormatan terhadap sesama manusia, melakukan upacara seperti upacara megedong-gedongan, dapetan, tutug kambuhan, telu bulanan, ngotonin, ngeraja wala, matatah, mawiwaha, pawintenan, dan sebagainya. Ketiga, Pitra Yajna yaitu persembahan kehadapan orang tua selama masih hidup maupun setelah mati kehadapan pitara-pitari guna mendapatkan kerahayuan hidup di dunia ini dan di akhirat, cara pelaksanaannya dengan melakukan penghormatan kepada orang tua, berbakti kepada orang tua, melakukan upacara pitra yajna, dan lain-laainnya. Keempat, Resi Yajna yakni persembahan kehadapan para orang suci, para resi yang telah berjasa dalam pembinaan, pengembangan, serta menuntut umat , yang pelaksanaanya dengan menaati ajaran para Resi, berbakti kepada Resi, berdana punia kepada para Resi, memberikan pelayanan keapda para Resi, dan sebagainya. Dan yang kelima, Bhuta Yajna yakni persembahan kehadapan para bhuta kala atau makhluk bawahan, oleh karena para bhuta kala itu turut memberikan kekuatan kehidupan di alam semesta ini sehingga semua kehidupan menjadi harmonis. Pelaksanaannya dengan melakukan masegeh, macaru, dan pelaksanaan tawur. (Subagiasta, 2006 : 55)



a.      Unsur-Unsur Waisnawa Yang terdapat Dalam Saiwa Siddhanta

Untuk melihat unsur-unsur Waisnawa yang terdapat dalam Saiwa Siddhanta perlu kiranya kita lihat dari 2 sisi,yaitu : Upakara dan Upacara.Dibawah ini akan diuraikan unsur-unsur Waisnawa dalam dua sisi tersebut.

1.      Upakara

a)      Dalam upakara dapat dilihat bahwa unsur-unsur Waisnawa ada pada penggunaan Sesayut Agung,bentuknya:memakai aled/alas sesayut,tumpeng agung yang dipuncaknya memakai telur itik direbus 1,4 kwangen,4 bunga yang berwarna hitam,pada saat dihaturkan bertempatkan di utara.Bentuk sesayut ini menggambarkan ciri-ciri dari Wisnu yang merupakan Dewa yang dipuja dalam sekta waisnawa.

b)      Sesayut Ratu Agung,bentuknya:Menggunakan tiga nasi tumpeng dengan puncaknya diisi satu buah telur itik,Bunga cempaka yang ditempatkan pada empat penjuru mengelilingi tumpeng,dua kwangen disandarkan pada tumpeng,dua tulung,sasangahan sarwa galahan,sodan woh,berbagai jenis buah-buahan.Dipersembahkan pada Dewa Wisnu.

c)      Canang Genten,bentuknya : memakai alas yang berupa ceper atau yang berupa reringgitan,disusun dengan plawa(daun),Porosan yang berupa sedah berisi apuh dan jambe diikat dengan tali porosan,disusun dengan tempat minyak,bunga dan pandan arum yang bermakna penyatuan pikiran yang suci untuk sujud bhakti kehadapan Hyang Widhi dalam wujudnya sebagai Brahma Wisnu dan Iswara.

d)     Banten Pula Gembal;Terdapat beberapa bagian yang mewakili wisnu diantaranya adalah terdapat jajan yang menggambarkan senjata dan salah satunya adalah senjata cakra yang merupakan senjatanya Dewa Wisnu.

e)      Gayah Urip:mempergunakan seekor babi.diatas kepala babi tersebut ditancapkan sembilan jenis sate yang berbentuk senjata,yang penempatannya sesuai dengan pengideran dewata nawa sanga.salah satu dari sate tersebut berbentuk cakra (senjata Dewa Wisnu) dengan puncaknya Amparu ditancapkan disebelah utara (Untram).

f)       Tirta:hampir disetiap upacara menggunakan tirta yang terbuat dari yang telah disucikan.Air merupakan lambang dari Dewa Wisnu.

g)      Banten catur rebah : pada banten ini salah satunya menggunakan biyu lurut 4 bulih,diletakan diutara sebagai simbol Dewa Wisnu.

2.      Upacara

a)      Upacara Mapag Yeh : dilakukan oleh para krama subak yeh yang ditujukan kepada Dewa Wisnu.

b)      Mabyukukung : menggunakan upakara berupa banten dapetan penyeneng,jerimpen,pangambyan,sodan,canang,raka putih kuning,toya anyar mawadah sibuh yang berisi muncuk daun dapdap.Yang dipuja adalah Hyang Sri Laksmi yang merupakan saktinya Dewa Wisnu.

c)      Upacara yang dilakukan pada saat menanam padi:dilaksanakan pada sasih kaulu,kesanga,dan kedasa Dengan menggunakan segehan nasi kepalan berwarna hitam,ikan serba hitam,buah yang berwarna hitam,masawen (sawen=penanda) dengan kayu yang berwarna Hitam.Yang disembah atau dipuja adalah Hyang Guru Wisnu.

b.      Unsur-unsur Bhairawa dalam Saiwa Siddhanta

Dalam pelaksanaan setiap upacara di Bali tidak dapat terlepas dari proses upacara pecaruan. Dalam proses upacara pecaruan ini sebagian besar penggunaan sarananya mirip dengan penggunaan sarana sekta Bhairawa yang menggunakan arak, tuak dan brem. Selain itu dalam setiap penutup kegiatan Pujawali di setiap Pura di Bali menyelenggarakan upacara Tabuh Rah yang merupkan simbolisasi pemberian penyupatan kepada bhuta kala. Sekta Bhairawa juga mengadakan upacara Tabuh Rah, ini tidak dapat dipungkiri adanya kesamaan bentuk dan pelaksanaan upacara antara Siwa Siddhanta dan Bhairawa.

c.       Unsur-Unsur Sora dalam Saiwa Siddhanta

Setiap pelaksanaan upacara di Bali saat ini merupakan penerapan dari ajaran Siwa Siddhanta. Dan Ajaran Siwa Siddhanta ini merupakan salah satu bentuk ajaran yang mengkristalisasi semua ajaran sekta-sekta yang ada di Bali. Seperti dalam setiap pelaksanaan upacara pemujaan dalam bentuk surya sewana yaitu pemujaan kepada Dewa Surya, hal ini merupakan salah satu unsur dari sekta Sora yang kemudian di kristalisasikan dalam sekta Siwa Siddhanta. Adapun makna yang terkandung dalam pelaksanaan upacara pemujaan Dewa Surya ini adalah sebagai simbolisasi bahwa umat manusia telah melaksanakan Yajna.

d.      Unsur-unsur Pasupata dalam Siwa Siddhanta

Sekta pasupata merupakan sekta yang mengutamakan bentuk pemujaan terhdap Dewa Siwa melalui Lingga. Dalam Siwa Siddhanta pelaksanaanya dalam mewujudkan Sang Hyang Widhi Wasa yang berwujud Transenden menggunakan simbolisasi berupa arca atau lingga. Hal ini dapat disamakan dengan bentuk pemujaan yang dilakukan oleh sekta Pasupata. Mpu Sangkulputih merupakan pelopor pembuatan arca atau pralingga dan patung-patung Dewa yang dibuat dari bahan batu, kayu, atau logam sebagai alat konsentrasi dalam pemujaan Hyang Widhi. Lingga merupakan lambang Dewa Siwa atau Tuhan Siwa, yang pada hakekatnya mempuriyai arti, peranan dan fungsi yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat lampau, khususnya bagi umat manusia yang beragama Hindu. Hal ini terbukti bahwasanya peninggalan lingga sampai saat ini pada umumnya di Bali kebanyakan terdapat di tempat-tempat suci seperti pada pura-pura kuno. Bahkan ada juga ditemukan pada goa-goa yang sampai sekarang masih tetap dihormati dan disucikan oleh masyarakat setempat.Di Indonesia khususnya Bali, walaupun ditemukan peninggalan lingga dalam jumlah yang banyak, akan tetapi masyarakat masih ada yang belum memahami arti lingga yang sebenarnya. Untuk memberikan penjelasan tentang pengertian lingga secara umum maka di dalam uraian ini akan membahas pengertian lingga, yang sudah tentu bersifat umum.

Ajaran Hindu yang berkembang di Indonesia adalah ajaran Siwa Siddhanta, yaitu ajaran yang menekankan pada pemujaan Lingga dengan tokoh Tri Murti yaitu Brahma, Wisnu dan Siwa. Serta pada Tri Purusa yaitu Parama Siwa, Sada Siwa, Siwa. Pengertian Tri Purusa ialah lukisan Tuhan sebagai penguasa alam atas, alam tengah dan alam bawah yang dilukiskan sebagai Parama Siwa (atas), Sada Siwa (tengah) dan Siwa (bawah). (Sara,1994:56). Dari kutipan tersebut dapat disimpulkan bahwa Siwa Siddhanta menggunakan lingga sebagai simbolisasi. Hal ini merupakan kemiripan dari ajaran Pasupata.

e.       Unsur-unsur Bodha atau Sogatha dalam Siwa Siddhanta

Masuknya agama Hindu di Bali diperkirakan sebelum abad ke-8 Masehi, karena terdapat bukti berupa fragmen-fragmen pada prasasti yang ditemukan di desa Pejeng, Gianyar yang berbahasa Sanskerta. Ditinjau dari segi bentuk hurufnya diduga sejaman dengan meterai tanah liat yang memuat mantra Budha yang dikenal dengan "Ye te mantra", dan diperkirakan berasal dari tahun 778 Masehi. Pada baris pertama dari dalam prasasti itu menyebutkan kata "Sivas.......ddh......." yang oleh para ahli, terutama Dr. R. Goris menduga kata yang hampir pudar itu kemungkinan berbunyi: "Siva Siddhanta". Dengan demikian pada abad ke-8, Paksa (Sampradaya atau Sekta) Siwa Siddhanta sudah berkembang di Bali. Berkembangnya ajaran agama yang dianut oleh raja dan rakyat tentunya melalui proses yang cukup panjang, sehingga dapat dikatakan Hindu Sekte Siwa Siddhanta sudah masuk secara perlahan-lahan sebelum abad ke-2 hingga ke-8 Masehi.

Bukti lainnya adalah ditemukannya arca Siwa di Pura Putra Bhatara Desa di Bedahulu, Gianyar. Arca tersebut merupakan satu tipe dengan arca-arca Siwa di Candi Dieng yang berasal sekitar abad ke-8, yang menurut Stutterheim tergolong berasal pada periode seni arca Hindu Bali. Dalam prasasti Sukawana di Bangli yang memuat angka 882 Masehi, menyebutkan adanya tiga tokoh agama yaitu Bhiksu Sivaprajna, Bhiksu Siwa Nirmala dan Bhiksu Sivakangsita yang membangun pertapaan di Cintamani (di Kintamani), yang menunjukkan kemungkinan telah terjadi sinkretisme antara Siwa dan Budha di Bali. Bila dilihat perkembangannya, kedua aliran agama tersebut sesungguhnya berasal dari pohon yang sama yaitu ajaran Hindu. Berkembangnya dan terjadinya sinkretisme antara penganut Siwa dan Buddhisme di Bali, diduga lebih menonjol pada masa pemerintahan raja besar Dharma Udayana Warmadeva, karena kedua agama tersebut merupakan agama yang diakui kerajaan.

Konsep Budha memang tidak dapat tempat ke dalam konsep ini. Namun secara fhilosofis, Budhisma sesungguhnya tidak memerlukan tempat suci. Sebab inti Budhisma bukan pemujaan, namun pelatihan-pelatihan untuk mengubah prilaku diri sendiri. Karena itu, pura bagi pengikut sang Budha adalah dirinya sendiri. Para pengikut Budha tidak memerlukan tempat suci, meskipun memang ada pengikut Budha yang masih memerlulan tempat suci. Mereka diberi kebebasan untuk membangun tempat suci untuk dewa pujaannya dirumanya masing-masing.



Keseluruhan konsep ini dikembangkan kedalam sebuah tatanan yang disebut Pakraman. Tatanan ini mengikat seluruh warga yang ada di dalam Pekraman. Sehingga semua sekte atau aliran pemikiran tersebut melebur ke dalam Pakraman. Pada sekitar abad ke 15 masehi, peleburan ini telah mencapai pada titik sempurna. Dhangyang Dwijendra pada sekitar abad tersebut, hanya menemui sekte-sekte seperti terdapat dalam kelompok-kelompok elite para brahmana, seperti brahmana Waisnawa, Shiwa dan Budha. Sementara masyarakat bali sendiri telah terlebur ke dalam Pakraman. Siapa pun tidak bisa membedakan sekte-sekte mereka. Walau pun mereka menganut sebuah sekte tertentu. Sifatnya sangat pribadi. Tak perlu diumumkan di tengah-tengah masyarakat luas.